Infeksi HIV

Infeksi HIV


Definisi


Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih tertentu dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Stadium akhir infeksi HIV adalah AIDS, yaitu suatu keadaan dimana penurunan sistem kekebalan tubuh yang terjadi menyebabkan penderita terkena infeksi, berbagai jenis kanker dan kemunduran sistem saraf. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV mungkin tidak menderita AIDS; sedangkan penderita lainnya baru menimbulkan gejala beberapa tahun setelah terinfeksi.

PENYEBAB

Penyebab infeksi HIV adalah virus HIV-1 atau virus HIV-2 (lebih jarang).

HIV bisa ditularkan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh seseorang yang terinfeksi virus HIV.

Cara penularan virus pada anak-anak:

  1. Saat anak masih berada dalam kandungan
  2. Saat proses persalinan berlangsung
  3. Melalui ASI

Pada anak-anak kecil, infeksi HIV hampir selalu didapat dari ibunya. Kurang dari 7% anak dengan AIDS yang mendapatkan infeksi dari sumber lainnya, seperti transfusi darah yang terinfeksi atau pelecehan seksual. Namun karena penanganan darah dan produk darah yang semakin baik dan aman, maka saat ini sangat sedikit infeksi yang didapat melalui darah transfusi.

Pada remaja, infeksi HIV bisa didapat dengan cara yang sama seperti orang dewasa, yaitu melalui hubungan seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) dan melalui pemakaian jarum suntik yang terinfeksi secara bersama-sama saat menggunakan obat-obat terlarang.

Virus HIV tidak ditularkan melalui makanan, air, benda-benda di rumah, atau kontak sosial. Pada kasus yang jarang, HIV ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi ke luka di kulit. Meskipun air ludah bisa mengandung virus, namun belum ada laporan penularan infeksi akibat berciuman dengan orang yang terinfeksi.




Gejala


Infeksi sebelum, selama atau segera setelah lahir, tidak langsung menimbulkan gejala. Pada 10-20% kasus, gejala baru timbul pada saat anak berumur 1-2 tahun; sedangkan pada 80-90% kasus, gejalanya baru timbul beberapa tahun kemudian. Sekitar 50% anak-anak yang terinfeksi HIV, baru terdiagnosa menderita AIDS pada usia 3 tahun.

Gejala awal yang biasanya ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV:

  • Pertumbuhan yang jelek, penurunan berat badan, demam yang berlangsung lama atau berulang, diare yang menetap atau berulang, pembengkakan kelenjar getah bening, pembesaran hati dan limpa, pembengkakan dan peradangan kelenjar liur di pipi
  • Infeksi jamur yang menetap atau berulang (thrush) di mulut atau daerah yang tertutup popok
  • Infeksi bakteri berulang (misalnya infeksi telinga tengah, pneumonia dan meningitis)
  • Infeksi oportunistik virus, jamur dan parasit
  • Keterlambatan atau kemunduran perkembangan sistem saraf
  • Sejumlah gejala dan komplikasi bisa timbul karena adanya penurunan sistem kekebalan tubuh. Sekitar sepertiga anak-anak yang terinfeksi HIV, menderita peradangan paru-paru (pneumonitis interstisial limfositik), biasanya pada tahun-tahun pertama. Gejalanya berupa batuk atau pembesaran ujung jari tangan (clubbing), tergantung dari beratnya penyakit.

    Pneumonia pneumokistik karena organisme Pneumocystis carinii merupakan ancaman yang serius pada anak-anak dengan HIV. Anak-anak yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya mengalami serangan pneumonia pneumokistik minimal 1 kali pada usia 15 bulan pertama. Pneumonia pneumokistik merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak dan orang dewasa yang menderita AIDS.

    Pada sejumlah anak yang terinfeksi oleh HIV, kerusakan otak yang progresif menyebabkan anak mengalami gangguan atau keterlambatan perkembangan, misalnya untuk berjalan dan berbicara. Mereka juga mengalami gangguan kecerdasan serta memiliki kepala yang ukurannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya. Sekitar 20% dari anak-anak ini mengalami penurunan kemampuan sosial dan berbahasa serta penurunan pengendalian otot. Bisa terjadi kelumpuhan parsial, langkah menjadi goyah atau otot menjadi kaku.

    Beberapa anak bisa mengalami hepatitis (peradangan hati) dan gagal ginjal atau gagal jantung. Kanker jarang terjadi pada anak-anak, tetapi kadang ditemukan limfoma non-Hodgkin dan limfoma otak. Sarkoma Kaposi sangat jarang menyerang anak-anak.

    Bayi yang terlahir dengan infeksi HIV biasanya memiliki berat badan lahir yang rendah. Dalam waktu 2-3 bulan, penambahan berat badannya juga jelek.

    Anak-anak yang terinfeksi HIV bisa terkena infeksi oportunistik sebagai berikut:

  • Pneumonia pneumokistik
  • Pneumonia interstisial limfoid
  • Infeksi bakteri
  • Meningitis
  • Infeksi jamur
  • Esofagitis
  • Kandidiasis (infeksi jamur)
  • Infeksi virus
  • Herpes
  • Herpes zoster
  • Infeksi parasit
  • Pada anak-anak jarang terjadi keganasan. Dua masalah utama yang sering ditemukan pada anak-anak yang terinfeksi HIV atau menderita AIDS adalah wasting syndrome (ketidakmampuan untuk mempertahankan berat badan akibat berkurangnya nafsu makan sebagai respon terhadap infeksi HIV) dan ensefalopati HIV atau demensia AIDS (infeksi otak yang dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan otak). Wasting syndrome kadang dapat diatasi dengan menjalani konsultasi diet, sedangkan ensefalopati sulit untuk diobati.



    Diagnosa


    Pada bayi baru lahir, pemeriksaan darah standar untuk antibodi HIV tidak bersifat diagnostik karena jika ibunya terinfeksi HIV, maka darah bayi hampir selalu mengandung antibodi HIV. Antibodi ini akan tetap berada dalam darah bayi selama 12-18 bulan. Jika bayi tidak terinfeksi, maka setelah berumur 18 bulan, antibodi ini akan menghilang; tetapi jika bayi terinfeksi, maka antibodi HIV tetap ditemukan dalam darahnya.

    Karena itu untuk mendiagnosa infeksi HIV pada bayi yang berumur kurang dari 18 bulan dilakukan pemeriksaan darah khusus, yaitu reaksi rantai polimerase (PCR, polymerase chain reaction), tes antigen p24 atau biakan virus HIV. Untuk bayi yang berumur lebih dari 18 bulan dilakukan pemeriksaan darah standar untuk infeksi HIV.



    Pengobatan


    Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:

    1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
      - AZT (zidovudin)
      - ddI (Didanosin)
      - ddC (Zalsitabin)
      - d4T (Stavudin)
      - 3TC (Lamivudin)
      - Abakavir
    2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
      - Nevirapin
      - Delavirdin
      - Efavirenz
    3. Protease inhibitor
      - Saquinavir
      - Ritonavir
      - Indinavir
      - Nelfinavir

    Semua obat tersebut bertujuan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obat tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan yang paling efektif adalah dengan memberikan kombinasi 2 obat atau lebih. Kombinasi obat bisa memperlambat terjadinya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun.

    AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan.

    Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual, muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal. Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch).

    Penderita AIDS perlu diberikan obat-obatan untuk mencegah infeksi ooportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi Trimethoprim dan sulfamethoxazole untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan Azithromycin seminggu sekali atau Clarithromycin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan Fluconazole jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan Acyclovir jangka panjang.

    PROGNOSIS

    Paparan HIV tidak selalu menyebabkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama bertahun-tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV memiliki risiko sekitar 1-2 % untuk menjdi AIDS pada beberapa tahun pertama. Risiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya.

    Risiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%. Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS.

    Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita. Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh.

    Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita.

    Hampir semua penderita akan meninggal dalam waktu 2 tahun setelah terjangkit AIDS. Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.

    PENCEGAHAN

    Pencegahan penularan HIV dari ibu kepada bayinya dilakukan dengan cara memberikan obat anti-HIV. Pada trimester kedua dan ketiga (6 bulan terakhir), ibu hamil yang diketahui terinfeksi HIV diberikan AZT per-oral (melalui mulut), sedangkan pada saat persalinan diberikan AZT melalui infus. Bayi baru lahir diberikan AZT selama 6 minggu. Tindakan tersebut telah berhasil menurunkan angka penularan HIV dari ibu kepada bayinya, dari 25% menjadi 8%.

    Pada persalinan normal, kemungkinan penularan HIV lebih besar. Oleh karena itu, ibu hamil yang terinfeksi HIV kadang dianjurkan untuk menjalani operasi cesar.

    Risiko penularan melalui ASI relatif rendah. Namun, jika tersedia susu formula yang baik dan air yang bersih, maka sebaiknya ibu yang terinfeksi HIV tidak memberikan ASI kepada bayinya. Jika air yang tersedia tidak bersih sehingga besar kemungkinannya untuk terjadi diare atau kekurangan gizi, maka sebaiknya ibu tetap memberikan ASI kepada bayinya karena pemberian ASI lebih menguntungkan bagi kesehatan bayinya.

    Pencegahan penularan HIV pada remaja sama dengan pada orang dewasa. Semua remaja harus diajarkan bagaimana HIV menular dan bagaimana cara menghindari penularan HIV, termasuk dengan tidak melakukan hubungan seksual secara bebas, baik secara oral, vaginal, atua anal.



    Referensi


    - C, Mary T. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection in Children. 2007.

    http://www.merckmanuals.com/home/childrens_health_issues/viral_infections_in_infants_

    and_children/human_immunodeficiency_virus_hiv_infection_in_children.html

    - D, Nadia. HIV and AIDS. KidsHealth. 2012.

    http://kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/hiv.html

    Infeksi HIV Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Hari Media Sosial

    0 comments:

    Post a Comment